Agroforestri: Filosofi Hijau untuk Masa Depan Pertanian
Paradigma Baru dalam Bertani

By ALAM RAHMANSYAH PUTRA 22 Jun 2025, 08:47:17 WIB OPINI dan ARTIKEL

Krisis iklim, degradasi tanah, dan ancaman ketahanan pangan menandai urgensi perubahan dalam sistem pertanian global. Sistem monokultur yang mengandalkan eksploitasi sumber daya alam terbukti rapuh dan tidak berkelanjutan. Dalam konteks ini, agroforestri muncul bukan hanya sebagai solusi teknis, tetapi sebagai filosofi baru dalam bertani yang menempatkan manusia sebagai bagian dari ekosistem, bukan penguasa atasnya.

Menurut laporan FAO (2023), agroforestri menawarkan cara pandang yang menyeluruh terhadap pertanian: integrasi antara pohon, tanaman pangan, dan hewan dalam satu sistem yang saling mendukung. Lebih dari sekadar teknik budidaya, agroforestri adalah pendekatan ekologis dan sosial yang mengedepankan keberlanjutan, keanekaragaman, dan kemandirian.

Agroforestri secara teknis adalah sistem yang menggabungkan tanaman berkayu seperti pohon, bambu, semak dengan tanaman pangan atau hewan dalam satu lahan. Namun lebih dari itu, ia menawarkan perubahan paradigma dari pertanian yang eksploitatif menuju sistem yang resilien, adil, dan holistik. Sistem ini menolak cara pandang lahan sebagai objek ekonomi semata, dan sebaliknya, melihatnya sebagai ekosistem yang saling terkait.

Baca Lainnya :

Di Indonesia, berbagai praktik agroforestri tradisional telah berlangsung ratusan tahun. Sistem repong damar di Krui, Lampung (ICRAF, 2017) dan kebun campuran di Maninjau, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa masyarakat adat telah lama menerapkan pertanian berbasis ekosistem yang kompleks dan efisien. Di tempat-tempat ini, lebih dari 300 spesies tanaman tumbuh berdampingan secara alami. Ini bukan hanya melestarikan keanekaragaman hayati, tetapi juga memberikan pendapatan yang stabil bagi petani.

Berbeda dari sistem monokultur yang bergantung pada satu jenis tanaman, agroforestri memberikan sumber pendapatan yang terdiversifikasi dari hasil pangan, kayu, buah-buahan, hingga produk hutan non-kayu. Ini menjadikan petani lebih tahan terhadap fluktuasi harga pasar, gagal panen, atau bencana alam. Rasio Kesetaraan Lahan (Land Equivalent Ratio) dalam agroforestri bahkan sering kali lebih tinggi dibanding sistem konvensional (Gading et al., 2019).

Menurut data BPS (2022), minimnya pengetahuan teknis, keterbatasan akses modal, dan belum adanya kebijakan terpadu membuat banyak petani ragu untuk beralih. Ditambah lagi, pendekatan birokrasi yang kaku antara kehutanan dan pertanian justru menjadi batu sandungan.

Agroforestri bukan sekadar masa lalu yang perlu dilestarikan, tapi masa depan yang perlu dibentuk. Ia bukan alternatif, melainkan arus utama baru yang mampu menjawab tantangan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara bersamaan. Ia mengajak kita untuk berhenti melihat pertanian sebagai pabrik pangan, dan mulai melihatnya sebagai bagian dari ekosistem kehidupan yang lebih besar.

Jika kita sungguh ingin membangun pertanian yang adil, ramah lingkungan, dan berkelanjutan, maka agroforestri bukan hanya sekadar solusi melainkan falsafah pertanian masa depan.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment

Loading....


Kanan - Iklan SidebarKanan

Temukan juga kami di

Ikuti kami di facebook, twitter, Instagram, Youtube dan dapatkan informasi terbaru dari kami disana.

Berita Utama